Sabtu, 22 Desember 2012

RAHAN KOQNITIF, AFEKTIF DAN PSIKOMOTORIK


RANAH KOGNITIF, AFEKTIF DAN PSIKOMOTORIK DALAM PENDIDIKAN
Pendidikan sebagai sebuah proses belajar memang tidak cukup dengan sekedar mengejar masalah kecerdasannya saja. Berbagai potensi anak didik atau subyek belajar lainnya juga harus mendapatkan perhatian yang proporsional agar berkembang secara optimal. Karena itulah aspek atau factor rasa atau emosi maupun ketrampilan fisik juga perlu mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang.
Sejalan dengan pengertian kognitif afektif psikomotorik tersebut, kita juga mengenal istilah cipta, rasa, dan karsa yang dicetuskan tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara. Konsep ini juga mengakomodasi berbagai potensi anak didik. Baik menyangkut aspek cipta yang berhubungan dengan otak dan kecerdasan, aspek rasa yang berkaitan dengan emosi dan perasaan, serta karsa atau keinginan maupun ketrampilan yang lebih bersifat fisik.
Konsep kognitif, afektif, dan psikomotorik dicetuskan oleh Benyamin Bloom pada tahun 1956. Karena itulah konsep tersebut juga dikenal dengan istilah Taksonomi Bloom.
Pengertian kognitif afektif psikomotorik dalam Taksonomi Bloom ini membagi adanya 3 domain, ranah atau kawasan potensi manusia belajar. Dalam setiap ranah ini juga terbagi lagi ke dalam beberapa tingkatan yang lebih detail. Ketiga ranah itu meliputi :
1. Kognitif (proses berfikir )
Kognitif adalah kemampuan intelektual siswa dalam berpikir, menegtahui dan memecahkan masalah.
Menurut Bloom (1956) tujuan domain kognitif terdiri atas enam bagian :
a. Pengetahuan (knowledge)
mengacu kepada kemampuan mengenal materi yang sudah dipelajari dari yang sederhana sampai pada teori-teori yang sukar. Yang penting adalah kemampuan mengingat keterangan dengan benar.
b. Pemahaman (comprehension)
Mengacu kepada kemampuan memahami makna materi. Aspek ini satu tingkat di atas pengetahuan dan merupakan tingkat berfikir yang rendah.
c. Penerapan (application)
Mengacu kepada kemampuan menggunakan atau menerapkan materi yang sudah dipelajari pada situasi yang baru dan menyangkut penggunaan aturan dan prinsip. Penerapan merupakan tingkat kemampuan berfikir yang lebih tinggi daripada pemahaman.
d. Analisis (analysis)
Mengacu kepada kemampun menguraikan materi ke dalam komponen-komponen atau faktor-faktor penyebabnya dan mampu memahami hubungan di antara bagian yang satu dengan yang lainnya sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti. Analisis merupakan tingkat kemampuan berfikir yang lebih tinggi daripada aspek pemahaman maupun penerapan.
e. Sintesa (evaluation)
Mengacu kepada kemampuan memadukan konsep atau komponen-komponen sehingga membentuk suatu pola struktur atau bentuk baru. Aspek ini memerluakn tingkah laku yang kreatif. Sintesis merupakan kemampuan tingkat berfikir yang lebih tinggi daripada kemampuan sebelumnya.
f. Evaluasi (evaluation)
Mengacu kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan tertentu. Evaluasi merupakan tingkat kemampuan berfikir yang tinggi.
Urutan-urutan seperti yang dikemukakan di atas, seperti ini sebenarnya masih mempunyai bagian-bagian lebih spesifik lagi. Di mana di antara bagian tersebut akan lebih memahami akan ranah-ranah psikologi sampai di mana kemampuan pengajaran mencapai Introduktion Instruksional. Seperti evaluasi terdiri dari dua kategori yaitu “Penilaian dengan menggunakan kriteria internal” dan “Penilaian dengan menggunakan kriteria eksternal”. Keterangan yang sederhana dari aspek kognitif seperti dari urutan-urutan di atas, bahwa sistematika tersebut adalah berurutan yakni satu bagian harus lebih dikuasai baru melangkah pada bagian lain.
Aspek kognitif lebih didominasi oleh alur-alur teoritis dan abstrak. Pengetahuan akan menjadi standar umum untuk melihat kemampuan kognitif seseorang dalam proses pengajaran.

2. Afektif (nilai atau sikap)
Afektif atau intelektual adalah mengenai sikap, minat, emosi, nilai hidup dan operasiasi siswa.
Menurut Krathwol (1964) klasifikasi tujuan domain afektif terbagi lima kategori :
a. Penerimaan (recerving)
Mengacu kepada kemampuan memperhatikan dan memberikan respon terhadap sitimulasi yang tepat. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar terendah dalam domain afektif.
b. Pemberian respon atau partisipasi (responding)
Satu tingkat di atas penerimaan. Dalam hal ini siswa menjadi terlibat secara afektif, menjadi peserta dan tertarik.
c. Penilaian atau penentuan sikap (valung)
Mengacu kepada nilai atau pentingnya kita menterikatkan diri pada objek atau kejadian tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima, menolak atau tidak menghiraukan. Tujuan-tujuan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi “sikap dan opresiasi”.
d. Organisasi (organization)
Mengacu kepada penyatuan nilai, sikap-sikap yang berbeda yang membuat lebih konsisten dapat menimbulkan konflik-konflik internal dan membentuk suatu sistem nilai internal, mencakup tingkah laku yang tercermin dalam suatu filsafat hidup.
e. Karakterisasi / pembentukan pola hidup (characterization by a value or value complex)
Mengacu kepada karakter dan daya hidup sesorang. Nilai-nilai sangat berkembang nilai teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan lebih mudah diperkirakan. Tujuan dalam kategori ini ada hubungannya dengan keteraturan pribadi, sosial dan emosi jiwa.
Variable-variabel di atas juga telah memberikan kejelasan bagi proses pemahaman taksonomi afektif ini, berlangsungnya proses afektif adalah akibat perjalanan kognitif terlebih dahulu seperti pernah diungkapkan bahwa:
“Semua sikap bersumber pada organisasi kognitif pada informasi dan pengatahuan yang kita miliki. Sikap selalu diarahkan pada objek, kelompok atau orang hubungan kita dengan mereka pasti di dasarkan pada informasi yanag kita peroleh tentang sifat-sifat mereka.”
Bidang afektif dalam psikologi akan memberi peran tersendiri untuk dapat menyimpan menginternalisasikan sebuah nilai yang diperoleh lewat kognitif dan kemampuan organisasi afektif itu sendiri. Jadi eksistensi afektif dalam dunia psikologi pengajaran adalah sangat urgen untuk dijadikan pola pengajaran yang lebih baik tentunya.

3. Psikomotorik (keterampilan)
Psikomotorik adalah kemampuan yang menyangkut kegiatan otot dan fisik.
Menurut Davc (1970) klasifikasi tujuan domain psikomotor terbagi lima kategori yaitu :
a. Peniruan
terjadi ketika siswa mengamati suatu gerakan. Mulai memberi respons serupa dengan yang diamati. Mengurangi koordinasi dan kontrol otot-otot saraf. Peniruan ini pada umumnya dalam bentuk global dan tidak sempurna.
b. Manipulasi
Menekankan perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan, penampilan, gerakan-gerakan pilihan yang menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Pada tingkat ini siswa menampilkan sesuatu menurut petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru tingkah laku saja.
c. Ketetapan
memerlukan kecermatan, proporsi dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan. Respon-respon lebih terkoreksi dan kesalahan-kesalahan dibatasi sampai pada tingkat minimum.
d. Artikulasi
Menekankan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat dan mencapai yang diharapkan atau konsistensi internal di natara gerakan-gerakan yang berbeda.
e. Pengalamiahan
Menurut tingkah laku yang ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan energi fisik maupun psikis. Gerakannya dilakukan secara rutin. Pengalamiahan merupakan tingkat kemampuan tertinggi dalam domain psikomotorik.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa domain psikomotorik dalam taksonomi instruksional pengajaran adalah lebih mengorientasikan pada proses tingkah laku atau pelaksanaan, di mana sebagai fungsinya adalah untuk meneruskan nilai yang terdapat lewat kognitif dan diinternalisasikan lewat afektif sehingga mengorganisasi dan diaplikasikan dalam bentuk nyata oleh domain psikomotorik ini.
Dalam konteks evaluasi hasil belajar, maka ketiga domain atau ranah itulah yang harus dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar. Sasaran kegiatan evaluasi hasil belajar adalah:
  1. Apakah peserta didik sudah dapat memahami semua bahan atau materi pelajaran yang telah diberikan pada mereka?
  2. Apakah peserta didik sudah dapat menghayatinya?
  3. Apakah materi pelajaran yang telah diberikan itu sudah dapat diamalkan secara kongkret dalam praktek atau dalam kehidupannya sehari-hari?
Ketiga ranah tersebut menjadi obyek penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru disekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran

SEJARAH LAHIRNYA PGRI


Sejarah Singkat Lahirnya PGRI
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4hRdGqYClxAchq69UTdO4RqB0ISakY5chLHmUgft2vuHpVHSXlRKvwwl9yf298qzmTP045C0o6E5zYk4tURR76wWCmW8pqn2rNpSnDzr1ap58CM1Cv0BCaX01zTLI1fyTJPC2vDryX17C/s200/Pgri1.jpg
PGRI lahir pada 25 November 1945, setelah 100 hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Cikal Bakal Organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932. Semangat kebangsaan Indonesia telah lama tumbuh di kalangan guru-guru Bangsa indonesia. Organisasi perjuangan guru-guru pribumi pada Zaman Belanda berdiri tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Organisasi ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua.

Sejalan dengan keadaan itu, maka di samping PGHB berkembang pula organisasi guru bercorak keagamaan, kebangsaan, dan yang lainnya. Kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh mendorong para guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. hasilnya antara lain adalah Kepala HIS yang dulunya selalu dijabat orang Belanda, satu per satu pindah ke tangan orang Indonesia. semangat ini makin berkobar dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita kesadaran. Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak "MERDEKA!".

Pada Tahun 1932 nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini mengejutkan Pemerintah Belanda, karena kata "Indonesia" yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh Belanda. sebaliknya, kata "Indonesia" ini sangat didambakan oleh guru dan Bangsa Indonesia.

Pada Jaman Pendudukan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) tidak dapat lagi melakukan aktivitas. Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada Tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta. Melalui Kongres ini, segala organisasi dan kelompok Guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Mereka adalah guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan.

Dengan semangat pekik "merdeka" yang bertalu-talu, di tangan bau mesiu pemboman oleh tentara Inggris atas Studio RRI Surakarta, mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan:
1. Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia;
2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan;
3. Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.
Sejak Kongres Guru Indonesia itulah, semua Guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Jiwa pengabdian, tekad perjuangan dan semangat persatuan dan kesatuan PGRI yang dimiliki secara historis terus dipupuk dalam mempertahankan dan megisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam rona dan dinamika politik yang sangat dinamis, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tetap setia dalam pengabdiannya sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenagakerjaan, yang bersifat unitaristik, independen, dan tidak berpolitik praktis.

Untuk itulah, sebagai penghormatan kepda guru, pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional, dan dperingati setiap tahun. Semoga PGRI, guru, dan Bangsa Indonesia tetap jaya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

KARANGAN NARASI


Karangan Narasi

Karangan narasi adalah karangan yang menyajikan serangkaian peristiwa yang berusaha menyampaikan serangkaian kejadian menurut urutan terjadinya atau kronologis agar pembaca dapat memetik hikmah dari cerita itu. Sebuah karangan narasi dikembangkan dengan memperhatikan prinsip dasar narasi yaitu alur (plot), penokohan, latar, titik pandang, pemilihan detil peristiwa (Dr. Suparno dan M Yusuf).
Narasi adalah tipe cerita rekaan yang gaya ungkapannya menceritakan atau menuturkan. Tipe narasi biasanya memberikan kesan gerak yang lancar kepada pembaca. Peristiwa demi peristiwa terasa bergerak dari awal hingga akhir. Dengan demikian pembaca akan mendapat gambaran yang jelas, seolah-olah dia sendiri melihat obyek yang dituturkan oleh penulis.
Dalam menciptakan karangan berbentuk narasi diperlukan pengelolaan yang tepat dan pemilihan kata yang lebih jitu. Topik yang akan dijadikan suatu narasi harus mengandung konflik atau pertentangan antara manusia atau keinginan manusia dengan gagasan penulis. Konflik ini dapat pula terjadi antara keinginan seseorang dengan kenyataan atau tuntutan keadaan dari lingkungannya.
Tujuan menulis karangan narasi ada 2 yaitu  (Suparno dan M Yusuf : 4.32) :
  1. Memberi informasi atau wawasan dan memperluas pengetahuan pembaca.
  2. Memberi pengalaman estetis kepada pembaca.
Langkah-langkah menyusun karangan narasi menurut Suparno dan M Yusuf  (1995 : 379) adalah sebagai berikut :
  1. Menentukan tujuan yang akan dicapai penulis.
  2. Menetapkan tema dan amanat yang akan disampaikan.
  3. Menetapkan sasaran pembaca.
  4. Merancang  peristiwa utama yang akan ditampilkan dalam bentuk skema alur.
  5.  Membagi peristiwa utama ke dalam bagian awal, tengah atau akhir.
  6. Merinci peristiwa utama ke dalam pokok-pokok pikiran yang penting dan menarik  pembaca ke dalam cerita.
Menurut Graves (1978) seseorang enggan menulis karena tidak tahu untuk apa dia menulis, merasa tidak berbakat, dan merasa tidak tahu bagaimana menulis. Ketidaksukaan tidak lepas dari pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakat serta pengalaman pembelajaran menulis atau mengarang di sekolah yang kurang merangsang dan memotivasi minat siswa. Smith (1981)  mengatakan bahwa pengalaman belajar menulis yang dialami siswa di sekolah tidak lepas dari kondisi guru sendiri.
Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar bertujuan untuk mendidik para siswa agar memiliki keterampilan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Dorongan anak untuk menulis (mengarang)  masih sangat rendah, hal itu dipengaruhi oleh lingkungan keluarga.teman sebaya,masyarakat,dan guru.
Kalau kita akui secara jujur masih sedikit sekali masyarakat kita yang biasa mengisi waktu senggang untuk menulis.Pada masyarakat kita masih ada anggapan bahwa menulis pekerjaan guru,pengarang atau pegawai.
Dalam hal ini guru berkewajiban untuk menciptakan suatu kondisi di sekolah terutama di dalam kelas yang memungkinkan anak mengembangkan minat menulis.
Beberapa hal yang menjadi pedoman untuk menciptakan kondisi tersebut yaitu :
  1. Guru harus mengembangkan fungsi fisik anak sehingga mampu memegang alat tulis dengan baik dan menggerakkan tangan untuk menulis.
  2. Guru harus mampu menyadarkan para siswa  bahwa untuk bisa menulis memerlukan ketekunan menulis secara terus menerus.
  3. Untuk menjadi orang yang bisa menulis (mengarang ) tidak ada lembaga yang khusus mencetak pengarang tetapi muncul dari orang yang rajin menulis dan menulis setiap hari
  4. Guru berpedoman pada pendapat W. Somerset Maugham (174-1965) untuk mengembangkan keterampilan menulis diperlukan :
  • Berlatih terus menerus,menangkap,berpikir dan menulis. à drill
  • Rajin mengisi buku harian dengan penuh tulisan à tugas
  • Merantau jauh (keluar ) untuk melihat objek luas untuk dijadikan    bahan tulisan. à karya wisata
  • Rajin membaca terutama buku-buku sastra dengan penuh tulisan
  • Membiasakan diri setiap hari menuliskan sesuatu sehingga tumbuh   keinginan dan kekurangan dalam hidup kalau belum menulis (Aoh Hadimadja : 1971: 1).